Pages

Monday, May 30, 2011

Ketika Nona Cici Digendong


Beberapa teman banyak yang penasaran nih dengan baby carrier yang dipakai untuk menggendong Cici waktu kami pergi ke Baduy 2 minggu yang lalu. Nah kemarin itu kami pakai baby carrier merk KELTY yang bentuknya mirip ransel. Percayalah ini adalah barang pertama yang kami belikan untuk Cici ketika usianya masih 7 bulan di dalam kandungan :) . Bukan beli baru sih, beli second, ceritanya ada di sini 

Nah trip ke Baduy kemarin adalah percobaan pertama Cici digendong dengan baby carrier untuk jangka waktu lama. Alhamdulillah Cici suka, ga rewel, anteng, malah tidur selama perjalanan. Asiknya di gendongan tersebut ada beberapa pocket yang bisa dipakai untuk menyimpan botol minum jatah Cici.

Overall nyaman dan enak bagi kami dan Cici. Berat badan Cici sekarang 12 kg, ditambah berat baby carrier-nya yang sekitar 3 kg maka totalnya jadi 15 kg. Yah sama seperti ekspedisi dan bawa 3 jerigen air he he. Walaupun kalau ada rejeki pengen beli yang baru nih, yang ada tudungnya biar Cici ga kepanasan. Doakan Bunda Popo ada rejeki lebih ya Ci 

O iya ngomong - ngomong tentang gendongan, sampai sekarang saya belum pernah gendong Cici pakai gendongan kain selendang itu. Waktu Cici lahir kebetulan ada teman kami, Pak Cik Setyo yang ngasi kado moby wrap . Jadi seringnya kalau pergi - pergi Cici di gendong pakai moby..nyaman di kami dan juga nyaman di Cici. Kalau udah di moby pasti ketiduran. Selebihnya Cici lebih banyak di stroller atau di car seatnya. 

Saya emak - emak yang ga bisa gendong selendang lho. Jadi jangan tanya caranya, punya selendang aja ngga. Seumur - umur Cici gendong selendang waktu kami jalan - jalan ke Halimun dan menginap di homestay Citalahab. Ibu pemilik rumah yang kami tempati gemes banget dengan Cici dan pengen banget ngegendong. Akhirnya Cici digendong Ibu tersebut pakai selendang kain, dibawa jalan - jalan dan nampak seperti penduduk lokal 

Thursday, May 26, 2011

Baduy - Nu Ieu Mah Keur Urang Ciboleger Bae


Minggu, 15 Mei 2011

Sepertinya masih pagi sekali, badan saya pegal linu, kepala berat dan yang pasti mengantuk. Tapi bocah kecil di sebelah saya sudah bangun dari tadi nampaknya, dan dia sudah nongkrong di dapur bersama Bu Kasinah dan Pak Kasinah. Literary secara fisik nongkrong di depan hawu.

Dapur Keluarga Kasinah
Semalam kami kembali ke Gajeboh jam 7 malam. Setelah sempat rehat dulu di Cipaler 1 jam, minum kopi dan makan roti karena tiba – tiba turun hujan deras. Alhamdulillah tidak ada hambatan berarti dalam perjalanan pulang. Cici tertidur pulas di gendongan, dan kami terbantu oleh cahaya bulan purnama.


Hari ini rencananya kami akan pulang ke rumah. Singkat sekali memang perjalanan kami kali ini. Ransel – ransel dibongkar. Semua bahan makanan saya keluarkan : minyak goreng, telur, ikan asin, kornet, garam, beras, mie instant, kecap, tempe, baso, dll. Rencananya kelebihan bahan makanan akan kami serahkan ke Bu Kasinah.  Ya untuk apa dibawa pulang lagi, mereka disini lebih memerlukan.

Akhirnya pagi itu saya ikutan nongkrong di dapur. Saya, Cici dan Bu Kasinah memasak sarapan. Tepatnya, saya dan Cici menonton Ibu Kasinah membuat sarapan. Nasi, dadar telur, mie goreng, cumi goreng dan sarden. Tak lupa saya melakukan ijab kabul serah terima kelebihan bahan makanan kami.

Tak berapa lama tiba – tiba Bu Kasinah kembali dengan satu kantung plastik hitam yang penuh berisi makanan.
Nu ieu mah keur orang Ciboleger bae Bu !
Lho saya kok malah jadi bingung, padahal dalam hati ogah membawa kembali barang – barang itu. Ternyata maksud Bu Kasinah itu untuk Pak Mamad.  Tanpa diminta beliau membagi dua sama persis bahan makanan yang saya berikan, setengah untuk keluarganya dan setengah untuk Pak Mamad. Subhanallah.

Ternyata Bu Kasinah ingin berbagi rejeki. Padahal saya tahu, beliau saat ini pun tidak berlebih (baca = kekurangan). Tapi beliau malah berinisiatif membagi rejeki yang diperolehnya. Satu teguran kembali untuk saya. Bu Kasinah sangat benar, berbagi ketika kita sedang sempit pahalanya besar sekali.

Akhirnya keresek hitam kembali ke dalam ransel. Setelah makan kami bergegas packing. Mampir sebentar berbelanja kain tenun dan kampret. Tak lupa gelang akar kayu untuk Cici. Madu hutan pesanan kami sudah diantar ke rumah.

Posisi kembali seperti semula, saya menggendong Cici. Pak Mamad, Helmy dan Dahlan masing – masing membawa ransel. Kami berfoto bersama di depan rumah, bersalaman dan pamit.

Pak Mamad - Anak Ibu - Bu Kasinah - Cici - May - Helmy
Sekitar pukul 9 kami meninggalkan Gajeboh. Perjalanan pulang lebih cepat, walaupun lagi – lagi saya kecapean. Turunan yang dalam perjalanan datang tampak indah sekarang bagaikan senjata makan tuan, tanjakan panjang tak berujung. Dahlan jauh melesat di depan, Helmy bersama Pak Mamad, dan saya kembali menikmati pemandangan di belakang.


Kaduketuk tidak begitu ramai, para pedagang menawari kami untuk mampir sebentar. Berbelanja berbagai pernak – pernik Baduy. Kami telah kembali ke dunia yang berbeda.

Tiba di Ciboleger kami bergegas packing, pamitan dengan Pak Mamad dan mulai berjalan pulang. Pukul 11 siang, panas, terik menyengat. Kami mulai berjalan pulang ke rumah. Perjalanan singkat  selesai sampai disini, tetapi suatu saat kami akan kembali lagi.

# Trip with Family an Friends, May 2011

All photos were taken by my husband - Helmy Noermawan. Credit is required if you want to use those in yours. Thank you.

Tuesday, May 17, 2011

Baduy - dan Tujuan Kami Hanyalah Kembali dengan Selamat Bersama Pak Mamad

Perjalanan dilanjutkan, pukul 11 siang, perut kenyang, angin sepoi – sepoi, mata mulai berat. Untuk meninggalkan Gajeboh kami harus menyebrangi Sungai Cibaduy, melewati jembatan bambu yang kokoh, walaupun hanya diikat tali ijuk. Selepas sungai jalurnya menyenangkan, menyusuri tepi sungai, jalan datar atau kadang menurun.

Jembatan Penghubung Gajeboh dan Cicakal Girang
Semangat 45, saya masih menggendong Cici..hingga tiba – tiba panggilan alam datang dan saya meminta Helmy untuk bergantian menggendong Cici. Akhirnya Cici berpindah tangan, saya dan Helmy bertukaran tas. Dan siapa sangka itu adalah keputusan terbaik yang saya buat selama perjalanan ini 

Kami kembali berjalan, menyebrangi anak sungai, melewati sebuah perkampungan kecil – Cicakal Girang dan ternyata di depan sana ada tanjakan tak berujung. Benar tak berujung, sedangkan matahari tepat berada di atas kepala. Pak Mamad sudah jauh depan, disusul Cep Dahlan, Helmy dan Cici sedangkan saya ada di paling belakang, meniti langkah sambil sesekali menikmati pemandangan yang indah. Pemandangan indah tak boleh dilewatkan bukan.

Untunglah di depan sana rombongan sudah menunggu, akhirnya bisa juga duduk dan memanjangkan kaki. Cici asik bermain sendiri sambil sesekali tiduran di singgasana ranselnya. Pak Mamad mulai membicarakan kemungkinan kami akan kemalaman di jalan tanpa senter. Perjalanan ke  Cibeo masih 2/3 jalan lagi. Bila kami terus berjalan maka kami akan tiba sekitar pukul 2 siang, beristirahat sebentar dan kembali ke Gajeboh. Paling cepat kami akan tiba di Gajeboh menjelang Maghrib. Tapi ada saja kemungkinan hujan lebat dan kami harus berteduh, kami akan kemalaman tanpa senter.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul akhirnya kami memutuskan kembali berjalan di tanjakan tak berujung itu. Dan kembali beristirahat tak lama kemudian. Hingga tiba – tiba ada godaan iseng mengajak tidur siang saja di Cicakal Girang. Ha ha ini tak usah disebut nama pencetusnya. Yang pasti bukan Cici.

Tetapi setelah menimbang – nimbang kami memutuskan kembali berjalan. Sejak saat itu tujuan kami bertambah jelas,  kembali dengan selamat bersama Pak Mamad. Untuk itu kami kembali bertukar peran, Cici digendong Pak Mamad. Untungnya Tuan Putri sangat kooperatif, dia tidak rewel walau berganti – ganti penggendong. Untungnya lagi di depan sana ada turunan yang indah sekali, kami mendekati Cipaler, daerah perkampungan Baduy Luar yang lain.

Kali ini kami tidak mampir di Cipaler, secepat mungkin kami ingin tiba di Cibeo. Hutan yang kami lewati mulai rapat, jalanan masih menurun, beberapa tempat licin. Saya masih di paling belakang. Seperti biasa menikmati pemandangan alam yang indah. Helmy dan yang lainnya sudah tidak kelihatan, hingga tiba – tiba …ah tidakkkk saya rupanya kepleset, masuk sungai, kepentok batu dan berguling 2 – 3 kali…alhamdulillah masih bisa bangun dengan selamat, walaupun badan kotor berlumpur. Di depan sana para pria itu sudah tidak terlihat. Saya bergegas melanjutkan perjalanan, menyebrangi anak sungai lagi dan berjumpa dengan ularrrrrrrrrrrr. Yap lengkaplah perjalanan saya hari ini, tapi saya bersyukur, gara – gara si ular saya jadi berlari mengejar rombongan.

Ternyata para pria dan Tuan Putri telah tiba di sebrang Sungai Cibaduy. Kami kembali harus melewati jembatan bambu yang kokoh. Inilah batas antara wilayah Baduy Luar dan Baduy Dalam. Saya ingat 14 tahun yang lalu pernah berenang – renang di sungai ini, dan hingga kini airnya tetap bersih.

Disini semua larangan sesuai adat masyarakat Baduy Dalam berlaku. Tidak diperkenankan mengambil foto, menggunakan elektronik, memakai sabun/odol dan jauh di dalam hati saya tentunya semua pengunjung harus bersikap sopan dan tidak merusak.

Setelah beristirahat sejenak di tepi sungai kembali kami melanjutkan perjalanan. Menurut Pak Mamad, di depan kami kembali ada tanjakan tak berujung yang lebih berat dari tanjakan di awal. Penuh semangat kami kembali berjalan, di kejauhan awan hitam mulai bergerak. Saya tetap setia di paling belakang, menikmati Sungai Cibaduy yang mengalir indah. Tanjakannya tak usahlah dibahas ha ha.

Di puncak punggungan kami beristirahat di dekat rumah ladang orang Baduy Dalam. Dua orang anak kecil asik bermain sendiri. Sang Ibu mungkin sedang ke ladang. Selanjutnya kami kembali menemukan rumah ladang lainnya. Beberapa anak kecil usia balita asik bermain, yang lelaki membawa golok di pinggang. Taksiran saya umurnya tak lebih dari 5 tahun. Di rumah ladang ketiga kembali saya bertemu anak kecil lainnya, asik bermain sendiri. Saya terkagum – kagum, di usia belia mereka telah sangat mandiri.

Jalanan terus menurun, dan di dalam hati saya mengingatnya sebagai rejeki yang harus diingat ketika kami nanti berjalan pulang, tanjakan panjang. Masih ada lagi rumah ladang lainnya, dan disini kami duduk beristirahat sambil mengobrol, dua wanita dewasa, 1 balita dan 1 bayi montok berusia 9 bulan. Sang Ibu kebingungan melihat Cici yang minum susu ultra dalam kemasan.

“Geuningan beda minumna, di dieu mah ngan nginum ieu bae”..sahut si Ibu sambil menunjuk dadanya

Wow ternyata Ibu ini Pro ASI juga, akhirnya saya jelaskan bahwa Cici juga anak ASI lho Bu. Kami mengobrol beberapa hal dan ujungnya si Ibu menawarkan tempat istirahat di rumahnya. Kebaikan hati yang tulus.

Pak Mamad kembali memimpin di depan. Saya kembali di belakang bersama seorang anak lelaki kecil yang membawa burung dalam sangkar. Kami melewati leuit (lumbung), menyebrangi sungai dan alhamdulillah, akhirnya jam 2 siang kami tiba di Cibeo, perkampungan Baduy Dalam.

Sepertinya tidak ada yang berubah. Samar dalam ingatan saya, suasananya masih sama seperti 14 tahun yang lalu. Jalan setapak kecil berbatu, rumah panggung berbilik bambu di kiri dan kanan. Beberapa orang nampak duduk di balai – balai, menyambut kedatangan kami.

Pak Mamad sudah duduk di depan rumah Pak Sardi. Helmy, Cici dan Cep Dahlan juga sudah melepas ransel-ransel mereka. Beberapa anak kecil duduk memandangi kami. Tuan Putri riang bermain ayam dan mulai berbaur dengan anak – anak Cibeo, berbagi biskuit dan bermain.

Pak Sardi, beliau adalah salah seorang penduduk Baduy Dalam yang cukup terbuka pada pendatang. Rumahnya kerap dijadikan tempat menginap, beberapa kali dalam setahun beliau saba kota ke Jakarta, berjalan kaki, 3 hari perjalanan.

Saya duduk mengobrol dengan seorang Ibu, bahasa Indonesianya cukup lancar dan orangnya ramah. Dua anak kecil bermain di sekitarnya. Si Ibu punya anak 6 orang, anak paling besarnya baru saja menikah, sedangkan anak paling kecilnya masih berusia 2 tahun.

Nampaknya rata – rata pasangan di Baduy memiliki anak banyak. Ibu Kasinah punya anak 3 orang, anak paling besarnya usia 20-an sedangkan yang paling kecil berusia 7 tahun. Beberapa kali saya menemukan juga anak usia balita menggendong adiknya yang masih bayi. Selain itu sepertinya mereka terbiasa menikah di usia muda, seperti anak Ibu di Cibeo tadi.

Menurut informasi dari Pak Sardi, jumlah rumah di Cibeo ada 96 rumah, sedangkan saat ini penduduknya ada sekitar 500 orang. Cikertawana juga kurang lebih sama komposisinya. Sedangkan Cikeusik lebih sedikit. Mata pencaharian utama mereka adalah dari mengumpulkan hasil hutan dan berladang. Hasilnya mereka pakai sendiri, ada juga yang dijual ke Ciboleger.

Mereka hidup sangat sederhana, hanya ada dua warna dalam kehidupan masyarakat Baduy Dalam, hitam dan putih. Pakaian sehari – hari kaum pria adalah baju kampret beserta celananya. Kaum wanitanya hanya berkain samping. Tanpa alas kaki.

Rumah dibuat tanpa paku, hanya tali pengikat dari rotan. Tanpa perabotan. Satu – satunya barang “mewah” dalam kehidupan mereka adalah perangkat makan dari porselin cina. Ini yang bikin saya penasaran, darimana ya mereka mendapatkan porselin cina tersebut ?

Makanan sehari – hari mereka hanyalah nasi, garam dan “sayur hasil hutan”. Ikan asin bisa jadi menjadi barang mewah yang harus mereka beli di Ciboleger. Kaum pria tidak merokok, mereka dan juga kaum wanita hanya nyeupah saja, alias nginang dengan daun sirih.

Singkat sekali kunjungan saya di Baduy Dalam. Padahal masih banyak yang ingin saya ketahui. Kami tidak sempat pula bertemu dengan Puun. Beliau sedang pergi berburu Kijang ke hutan. Jam 3 sore, saya masih enggan bergerak. Cici masih asik bermain. Tapi mau tidak mau kami harus segera pergi bila tidak ingin kemalaman di jalan.

bersambung….nu ieu kangge urang Ciboleger bae

Sunday, May 15, 2011

Baduy - 14 Tahun Telah Berlalu


Akhirnya jadi juga, padahal Kamis malam kemarin saya sempat bilang ke suami : “Ga usah jadi ke Baduy lah ya”. Saya berniat membatalkan rencana tanpa alasan yang jelas, padahal  sudah mengajak teman, sudah cerita ke teman – teman, dsb..padahal di lubuk hati paling dalam tersimpan alasan itu : kuat ngga ya jalan nanjak 

Jumat, 14 Mei 2011

Kesibukan dimulai dari pagi, pergi ke pasar, packing yang dilanjutkan dengan bersih-bersih rumah dan ketika teman kami – Cep Dahlan datang tentunya kami belum siap. Tetapi akhirnya setelah berhasil memenuhi bak mobil dengan 1 ransel 75 L, 2 ransel 25 L, cool box besar dan beberapa kantong plastik belanjaan, kami  berangkat jam 3 sore. Jalur tol dalam kota padat merayap, akhir pekan, menjelang long weekend, tidak usah mengeluh lagi. Yah begitulah, untung Cici di jalan sangat manis. Sedangkan Cep Dahlan terkagum – kagum dengan kesibukan ibu kota.

Menjelang jam 5.30 sore kami keluar tol Balaraja Barat. Papan petunjuk di pintu tol menyebutkan Rangkasbitung hanya 25 km lagi. Ini sih hanya dari rumah ke kantor, seru saya. Tetapi ternyata 25 km itu menyesatkan, setelah 1 jam kami malah menemukan papan petunjuk lain. Rangkasbitung 20 km. Jalanan rusak dan macet. Cici baik hati memilih tidur, sedangkan saya terkantuk – kantuk di samping Pak Supir yang sibuk bekerja.

Tiba – tiba …”Mau makan apa ?” Saya ternyata ketiduran, Cici masih tidur dan mobil sudah berhenti di depan tukang pecel lele. Tidak berapa lama car service datang : nasi putih, lele goreng plus tahu tempe dan sambal. Enaaaaaaaaak. Sambelnya apalagi. Ditambah lagi bapak pedagang Pecel Lele sangat informatif. Beliau menunjukkan arah ke Ciboleger, plus menyarankan alternatif jalan pulang nanti, via Jasinga. Sekitar jam 7.30 kami selesai makan dan segera meluncur ke Ciboleger, desa terakhir sebelum perkampungan Baduy. Jalan menuju Ciboleger cukup baik, dan petunjuknya cukup jelas : Wisata Budaya Baduy. Dan lagi – lagi karena ketiduran tiba – tiba jam 9 malam saya sudah tiba di Ciboleger.

Rekaman di kepala saya mengenai Ciboleger di tahun 1997 sangat berbeda dengan Ciboleger 2011, 14 tahun telah berlalu. Seperti tebakan kami, disini telah berdiri gagah Alfa Mart Ciboleger. Kedatangan kami langsung disambut para pemuda yang menawarkan jasa penginapan, dan yang lebih mengejutkan ketika keluar WC umum saya langsung dikagetkan oleh anak perempuan kecil yang meminta uang.

Dan malam itu saya dikuntit si bocah hingga ke mobil untuk mengambil uang 2000-nya. Terkesan tidak menyenangkan ya. Padahal tanpa dikuntitpun saya akan bayar, tidak akan kabur. Ah sudahlah, memang itu hak si anak.

Malam kian larut dan akhirnya kami memutuskan untuk menginap di lantai atas sebuah warung kerajinan khas Baduy di Ciboleger. Sederhana saja, sebuah ruangan dengan kasur busa dan karpet di lantai, tak lupa sebuah “balkon” dengan village  view.

Cici terbangun, segar bugar, dan asik bermain dengan bayangannya. Sedangkan kami sudah kelelahan dan ingin tidur. Good night Cici.

Sabtu, 15 Mei 2011
Perhatian – perhatian, bagi yang belum foto bersama segera membentuk barisan di depan bis masing – masing !
Dan di luar sangat ramai sekali, 5 buah bis, dan ratusan anak SMA baru saja turun dari kampung. Mereka sibuk berfoto bersama dan berbelanja. Ternyata mereka adalah rombongan SMA dari Pandeglang yang baru saja melaksanakan karya wisata di Baduy, menginap beberapa hari di perkampungan Baduy.

Kami bergegas mandi, packing dan bersiap berangkat. Pembagian tugas sudah jelas, saya akan menggendong Cici, sedangkan Helmy dan Cep Dahlan masing – masing membawa ransel 25 L. Tersisa ransel 75 L berisi ikan asin, beras, garam, minyak, mie instan, dll yang belum jelas siapa pemiliknya.

Tanpa dikomando kembali beberapa pemuda semalam mengerumuni kami. Mereka menawarkan jasa porter plus guide. Sebetulnya kami memang berencana memakai porter, tetapi niat itu urung melihat serbuan para pemuda Ciboleger pagi itu.

Akhirnya kami menolak dan memutuskan akan membawa semua barang itu sendiri, semampu kami. Semangat 45 dan kami mulai berjalan menaiki tangga ke Kadu Ketuk. Nah disini kami harus melapor dulu kepada Jaro, sekaligus meminta ijin dan mengisi buku tamu. Seorang pemuda terus mengikuti kami dan menunjukkan jalan ke rumah Jaro.

Rumah Jaro cukup besar dan balai – balainya luas, kami mengisi buku tamu, Pak Jaro sibuk menerima telpon. Sempat berbincang dengan kami, dan mengatakan bahwa di Cibeo (Baduy Dalam) saat ini sedang ada pernikahan sehingga kami tidak bisa menginap, tetapi kami boleh berkunjung saja. Cici asik bermain, punya teman baru.

Cici dan teman baru di Kadu Ketuk
Tidak masalah, kami memang berniat menginap di Gajeboh saja, salah satu desa Baduy Luar. Jaro kembali sibuk dengan telpon genggamnya dan pemuda pengikut kami berbisik – bisik menyuruh kami menaruh sedikit uang di buku tamu.

Perjalanan dimulai. Kami mulai berjalan meninggalkan desa dan saya kebingungan dengan pemuda yang sedari tadi menguntit kami. Ternyata beliau menawarkan jasa untuk menemani ke Baduy Dalam. Tarifnya saridona bae. Deal, pemuda bernama Pak Mamad itu akan membantu membawakan ransel 75L kami sekaligus menjadi penunjuk jalan ke Cibeo. Nampaknya beliau orang baik walaupun terkesan pendiam.

Jam 8.30 kami mulai berjalan meninggalkan Kadu Ketuk. Tujuan pertama adalah Gajeboh, perkampungan Baduy Luar yang terletak 5 km dari Kadu Ketuk. Rencananya kami akan meninggalkan sebagian barang di sini dan melanjutkan perjalanan ke Cibeo.

meninggalkan Kadu Ketuk menuju Gajeboh
Jalurnya masih menyenangkan, keluar kampung, menyebrang sungai, menanjak sebentar dan turun menuju Balingbing. Di kiri – kanan jalan kami menemukan beberapa leuit alias lumbung padi. Leuit digunakan sebagai tempat menyimpan hasil tani. Berdinding papan dan beratapkan ijuk. Umumnya diletakkan agak jauh dari rumah, di luar kampung.
leuit di dekat Kadu Ketuk
Kami sempat beristirahat sebentar di Balingbing, kampung kecil yang hanya terdiri dari beberapa rumah. Di perjalanan kami sempat pula bertemu dengan beberapa orang Baduy Dalam yang sedang memandu tamu. Kami sempatkan berbincang – bincang sejenak dan memesan madu hutan untuk hari Minggu.

orang Baduy Dalam, berpakaian dan memakai ikat kepala berwarna putih
Kami masih harus menyebrangi sungai kembali dan akhirnya tibalah kami di Gajeboh, jam 9.30. Ternyata akhir pekan kemarin sangat padat. Hampir semua rumah sudah dipesan orang yang akan menginap. Untung ada Pak Mamad. Setelah kasak kusuk sebentar beliau menemukan sebuah rumah untuk kami, rumah keluarga Kasinah.

Ketika kami datang Bu Kasinah sedang menenun, tanpa banyak bicara ia langsung membereskan tenunannya dan menuju dapur. Rumah keluarga Kasinah sangat sederhana. Seperti rumah lainnya rumah di Baduy Luar dibangun di atas batu yang berfungsi sebagai tiang penyangga, alasnya bambu yang kemudian dilapisi papan kayu. Dindingnya terbuat dari bilik bambu dan atapnya terbuat dari sejenis anyaman daun pandan. Bagian luarnya terdapat balai – balai. Bagian dalamnya terbagi menjadi dua, ruang duduk besar dan dapur. Itu saja. Ukurannya kurang lebih 10 x 5 meter saja. Tidak ada perabotan di dalamnya, kecuali kasur yang digulung serta tikar bambu. Dapurnya pun sangat sederhana, hawu dan rak piring sederhana dengan tumpukan piring kaleng.

Di depan rumah Bu Kasinah sedang ada kerja bakti, beberapa Bapak – Bapak sedang membangun rumah kayu. Indahnya kebersamaan yang tak terbeli dengan uang.

kerja bakti membangun rumah di Gajeboh
Bapak – bapak beristirahat, sedangkan saya, Cici dan Bu Kasinah sibuk di dapur mempersiapkan sarapan. Sebentar saja dan menu sederhana telah siap : nasi, tempe bacem, tahu goreng, telur dadar.

Makan bersama dan kami bergegas pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Cibeo. Kami harus cepat – cepat agar tidak kemalaman. Sudah jam 11 siang dan ternyata senter kami tertinggal di mobil.

Bunda dan Cici di Balingbing
bersambung…dan tujuan kami hanyalah kembali dengan selamat bersama Pak Mamad