Merbabu, adalah nama sebuah gunung yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah timur dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah barat.
Seperti saudara dekatnya – Merapi, Merbabu merupakan gunungapi. Secara fisik bisa dilihat jelas dengan adanya kawah di daerah sekitar puncak dan tipe batuan yang ada di sepanjang jalur pendakian. Namun gunung yang juga disebut sebagai Damalung ini tidak seaktif Merapi, letusan terakhir tercatat pada tahun 1797 dan sejak saat itu belum ada laporan terbaru mengenai aktifas gunungapi ini.
Awal April 2007 lalu saya kembali ke sini. Bersama Suwasti, Rahmi, Loly, Agus, Andre, Bekti dan Cebong (4 nama terakhir adalah teman – teman dari PALIMKA Solo). Kami berdelapan mendaki melalui arah selatan, dari jalur Selo, Boyolali. Selain Selo ada beberapa jalur lain menuju puncak Merbabu, antara lain melalui Wekas dan Kopeng.
Jumat, 6 April 2007
Sekitar tengah hari kami sudah tiba di Selo. Akhirnya, sesudah perjalanan panjang dari Jakarta sejak malam sebelumnya. Sambil makan siang di warung Sate Kambing kami ber -4 membicarakan rencana pendakian kali ini. Terus terang saya sendiri sangat ragu dengan kemampuan fisik saya, olahraga jarang, badan yang makin ndut, komplit deh. Apalagi mengingat beban berat yang harus dibawa (tenda, logistik, flysheet, air, pokoke lengkap). Duh….ini dia namanya salah hobby. Sedangkan puncak Merbabu nampak begitu jauh. Dari dalam bis tadi saya sempat memperhatikan, Merbabu begitu besar, punggungannya menjari kemana – mana, berbeda jauh dengan Merapi yang tampak sangat ramping.
But show must go on, kami re-packing di Warung Pojok langganan teman – teman Palimka. Mereka sempat kebingungan melihat carrier kami yang besar – besar dan juga berat tentunya. He he inilah akibatnya kalau Ibu – Ibu naik gunung Mas, harap maklum…semua dibawa, safety procedure tentunya.
Saya dan Rahmi pergi duluan menuju
base camp. Boncengan motor dengan Andre dan Bekti - motor yang sengaja di bawa dari Solo. Dari Selo kami menuju ke arah selatan, menyusuri jalan aspal yang terus mendaki. Serem juga naik motor sambil bawa carrier di punggung. Kalau jalan lumayan juga, kurang lebih 1 jam perjalanan. Pemandangan di kiri dan kanan jalan adalah perkebunan sayur milik penduduk, rumah – rumah sederhana, dan di belakang saya adalah Merapi…malu – malu bersembunyi di balik kabut.
|
Base Camp Gunung Merbabu Jalur Selo |
Base camp Gunung Merbabu adalah sebuah rumah di desa terakhir. Ketika kami tiba di sana rumahnya sangat sepi. Rumah sederhana dengan atap rendah, khas rumah di daerah Jawa Tengah. Di depan rumah ada sebuah bak air yang airnya seger banget. Tapi sepertinya buang jauh – jauh keinginan untuk mandi sore – sore. Cuaca cerah tapi anginnya dingin. Saya bertemu dengan Kakek pemilik rumah, dan untung beliau bisa berbahasa Indonesia. Sambil menunggu kedatangan teman – teman yang lain saya mencoba ngobrol dengan beliau. Menurut beliau perjalanan ke puncak biasanya 2.5 jam saja, kalau agak lambat sekitar 3 jam. Nah lho..kok cepet banget ya.. he he tapi ini selalu terjadi di manapun. Penduduk lokal mempunyai kemampuan fisik yang mengagumkan. Tanpa diminta Kakek kemudian bercerita mengenai Gunung Merbabu, beliau terakhir mendaki ke puncak tahun 1976. Dia berpesan untuk tidak “
nyambat”. Maksudnya jangan ngomong yang macam – macam. Katanya Merbabu bukanlah gunung yang berbahaya, tapi hati – hati kalau ngomong, jangan mengeluh tentang kondisi fisik atau kondisi alam. Kalau cape ya istirahat, kalau hujan ya berteduh, begitu pesan beliau. Diam – diam saya mengingatnya, walau nantinya ternyata masih keceplosan juga.
Jam 3 sore pasukan sudah lengkap, motor sudah dititipkan, buku tamu sudah di isi dan tiket masuk sebesar 2000 per orang sudah dibayar. Setelah berdoa kami mulai berjalan. Walau baru saling kenal suasananya penuh tawa. Iya, kami baru saling kenal karena pendakian ini. Saya bertemu Suwasti di Gunung Cikuray bulan Maret lalu, mengenal Rahmi dari multiply-nya dan bertemu pertama kali di Stasiun Jatinegara ketika hendak berangkat, begitu pula dengan Loly yang baru saya jumpai. Apalagi dengan teman – teman Palimka, belum genap sehari pertemuan kami. Dan sekarang kami hendak mendaki gunung bersama.
Di ujung jalan desa kami bertemu dengan rombongan yang baru saja turun. Ada juga sebuah plang yang bertuliskan larangan untuk merusak dsb. InsyaAllah. Jalur awalnya menyenangkan, datar menyusuri jalan setapak hutan pinus. Kondisi fisik masih fit. Sekitar setengah jam baru jalanan mulai menanjak. Senyum tanjakan mulai muncul, tapi tetep, kalau ada pemandangan bagus pasti berhenti dan foto – foto dulu. Jalurnya cukup bersih, jarang dijumpai bekas sampah pendaki, juga sangat jelas.
|
May dan Rahmi |
Menjelang sore kami tiba di sebuah tempat bekas longsoran dan kebakaran. Jalurnya agak hilang di sini. Setelah mencari cukup lama Andre akhirnya menemukan jalur yang benar. Tiba – tiba di suatu tempat ada daerah yang terbuka, dan apabila kita membalikkan badan, ada Merapi di sana. Seneng banget bisa melihat Merapi yang tidak tertutup kabut. Ngambil fotonya dan terus jalan. Malam hampir datang, mulai gelap dan senter mulai dinyalakan. Perlahan kami berjalan lagi, jalurnya makin sulit. Savanna 1 - tujuan kami hari ini, masih jauh sekali nampaknya (temen Palimka bilang : 1 jam lagi nyampe kok…padahal ??? he he). Mulai saat ini jalan harus ekstra hati – hati, banyak jebakan batman berupa lubang yang tertutup rumput. Jalur nanjak, beban berat dan turunlah hujan, lengkap juga akhirnya. Raincoat dipakai, payung dikeluarkan.
|
Hutan Pos 1 |
Saya berjalan di belakang dengan Suwasti, Bekti, Loly dan Agus. Rahmi dan lainnya sudah jauh di depan. Jalan terus walau pelan – pelan. Sesekali (walau sering) kami berhenti dan menarik nafas, sedangkan provokator di belakang terus bilang “Ayo, 5 menit lagi nyampe kok”..selalu 5 menit lagi he he.
Selepas jalan setapak kami tiba sebuah dataran luas yang disebut Watu Gubug, karena di sini ada sebuah batu berukuran sangat besar. Kalau cuaca cerah katanya pemandangan di sini sangat indah. Memang di hadapan saya saat ini ada beberapa bukit membentang , cocok dengan istilah teman – teman Palimka : Hollywood.
Bekti bilang kalau Savana 1 sudah sangat dekat, dari Watu Gubug tinggal 2 bukit lagi. Tapi bukitnya tinggi sekali Mas Bekti J “Tenang aja Mba, ntar kalau dah ga kuat kita gentian tas”. Mas Bekti yang hanya membawa daypack senyum – senyum.
Ada plus minusnya juga berjalan malam. Jalurnya ga begitu terlihat, harus ekstra hati – hati. Tapi enaknya pandangan kita terbatas, tidak bisa melihat jauh sehingga pandangan hanya fokus ke jalur. Ga mikir macam – macam. Beda dengan siang hari, tanjakan jauh di depan udah kelihatan, tanjakan di depan mata masih panjang.
Sekitar jam 9 malam kami semua akhirnya tiba di sebuah lapangan rumput kecil yang disebut Savanna 1. Eidelweis Merbabu yang konon harumnya paling wangi menjadi dopping sepanjang jalan. Betulan kok, kalau berkesempatan ke Merbabu dan mencium wangi melati di daerah setelah Watu Gubug, itu pasti wanginya Eidelweis. Kalau di daerah lain ya belum tentu…mungkin aja wangi melati yang lain J
Tenda – tenda segera dipasang. Tiga tenda segera berdiri dan para pemiliknya bergegas mengganti baju. Saya dan Rahmi sudah malas keluar tenda, dinginnya lumayan. Saya sempat juga merasa kedinginan. 3 tahun tinggal di Kalimantan yang panas ternyata membuat tubuh saya lumayan sulit beradaptasi di daerah dingin, mudah – mudahan bisa cepat pulih lagi, saya pan orang Bandung, harusnya mudah beradaptasi di daerah dingin.
|
Camp kami di Savanna 1 |
Sholat, minum teh manis madu, dilanjutkan dengan indomie, nasi, teri kacang, lumayan ganjel perut. Kami langsung tidur, di tenda sebelah Suwasti dan Loly nampaknya lagi masak, sedangkan temen – temen Palimka juga langsung tertidur. Selamat beristirahat.
Sabtu, 7 April 2007
“ Ga pada pengen liat sunrise nih ?”..panggilan Andre membangunkan saya dan Rahmi, masih pagi, jam 5.30. Sholat Shubuh dulu biar ga kesiangan dan bergegas keluar tenda. Subhanallah memang bagus banget, sisa – sisa sinar matahari pagi masih ada. Golden time buat motret. Sayang cuma sebentar, karena lagi – lagi kabut. Di depan ada beberapa bukit memanjang. Kata Cebong : “Jadi naik ndak ?, itu tuh puncaknya “..Walah ternyata masih jauh. Untung cepet – cepet ketutup kabut lagi jadi ngga kelihatan lagi.
Masak pagi hari itu masak heboh, semua logistik dikeluarin dan dimasak biar ntar enteng. Temen – temen Palimka lagi – lagi heran. Naik gunung bawa dapur. Sayur sop, tumis tempe kacang panjang, rolade, chicken nugget, kerupuk sama pencuci mulut manisan jambu batu Bangkok. Nasinya ? huhu ada sedikit kesalahan teknis saudara – saudara. Akhirnya kami sarapan dengan nasi semalam, biar muncaknya ga kesiangan, soale nasinya ga mateng – mateng.
Habis packing kita muncak. Rencananya Andre dan Bekti akan tinggal di camp untuk menjaga barang yang kami tinggalkan. Jadi berenam saja yang ke puncak. Ngga bawa apa – apa selain makanan dan minuman di dalam daypack. Kami mulai berjalan jam 9.30. Masih berkabut tapi pemandangannya indah, padang rumput ilalang (kaya puisinya Mukti banget deh). Rahmi jalan paling depan, kecil – kecil cabe rawit. Menyusul Suwasti. Saya dan Cebong paling belakang, biar lambat asal selamat. Dua bukit terlewati dan kami tiba di Savanna 2. Banyak Eidelweiss di sini. Pilihan lain untuk nge-camp, tempatnya lumayan lapang dan tertutup.
|
Puncaknya samar tertutup kabut |
Ke puncak ? Sudah dekat kok. Kata Cebong yang selalu ga bosan memberi semangat. Dan memang, sudah dekat, 3 bukit lagi teman – teman…he he he. Tapi selalu ada ujungnya jalan, alhamdulillah jam 11 kurang 5 saya tiba di puncak Gunung Merbabu. Cebong tertawa melihat alasan saya berjalan di belakang :”Biar nyampe puncak jam 11, sekarang kecepetan Bong”.. Ngeles ini sih.
Di puncak sayangnya masih tetap berkabut. Kami tidak bisa melihat sekeliling. Padahal waktu saya kesini tahun 2001, pemandangan dari puncak sangat menakjubkan. Gunung Merapi, Sindoro, Sumbing, semuanya terlihat. Mungkin bukan rejeki kami kali ini. Lain kali kami akan datang lagi.
|
Puncak Merbabu bersama Rahmi - Suwasti - Agus - Cebong |
Foto – foto dan bekal dikeluarkan, roti isi made in Loly, keripik bayam, jeruk, buavita. Di puncak ada sebuah triangulasi dari tumpukan batu dan sebuah batu bertuliskan : PUNCAK MERBABU 3142 MDPL. Batu bercat biru ini penuh dengan coretan lainnya, sayang juga. Padahal menurut saya bukti kita pernah ada di suatu puncak masih banyak sekali, bukan dengan vandalisme.
Kunjungan kami di puncak hanya sebentar. Jam 11.30 kami bergegas turun. Menjemput Andre, Bekti dan carrier – carrier di Savanna 1. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Base Camp. Cuaca cerah dan Bukit Hollywood memang indah. Merbabu secara keseluruhan sangat cantik.
Jam 5 sore dan kami semua tiba kembali di Base Camp. Hujan turun lagi, namun beruntung ada sebuah pick up sayur yang mau mengantar kami ke Boyolali. Setelah berpamitan dengan Kakek, kami meninggalkan desa. Saya, Suwasti, Cebong dan Agus duduk di belakang. Memandang Merbabu yang terus menjauh. Perjalanan dilanjutkan lagi dengan bis, kembali ke Jakarta. Perjalanan yang melelahkan tapi juga menyenangkan.
Alhamdulillah, terimakasih untuk teman – teman semua. Sampai berjumpa lagi di perjalanan berikutnya.
Fotonya lagi mau diupload ke album, mudah - mudahan bisa cepat.
PS:
Di perjalanan turun dari base camp ke Selo saya memperhatikan bahwa hampir semua rumah selalu mengahadap ke jalan raya. Kenapa ya ? Dalam hati saya berfikir, kalau saya yang punya rumah, pasti saya bangun menghadap Merapi / Merbabu, biar ceritanya bisa mountain view setiap hari. Ternyata ini ada alasannya dan jawabannya saya temukan tidak sengaja.
Barusan, karena iseng saya membaca buku lama saya, judulnya “Manusia Jawa dan Gunung Merapi – Persepsi dan Sistem Kepercayaannya”. Di halaman 79, Lucas Sasongko Triyoga – penulis buku ini, menguraikan : “Penduduk desa di lereng Gunung Merapi mempunyai kepercayaan bahwa arah hadap suatu bangunan tempat tinggal membawa pengaruh terhadap kesejahteraan pemiliknya dan keluarganya. Di lereng selatan, rumah tinggal kebanyakan di dirikan menghadap ke arah selatan atau ke arah jalan desa, menghindari arah Gunung Merapi. Sedangkan di lereng utara, rumah tempat tinggal di dirikan menghadap ke arah barat dan timur, menghadap arah Gunung Merapi – Merbabu. Penghindaran arah hadap ke arah gunung – gunung itu dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan bagi pemilik beserta keluarganya. Rumah tempat tinggal yang menghadap ke arah Gunung Merapi merupakan rumah sangar karena pemiliknya dianggap tidak menghormati, menantang dan menyediakan rumahnya sebagai tempat tinggal mahluk halus yang menghuni Kraton Merapi. Begitu pula dengan rumah tempat tinggal yang menghadap ke arah Merbabu.”
Mungkin ini jawabannya. Bagaimanapun masyarakat lokal mempunyai kearifan dan pemahaman yang terkadang sulit diterima logika kita sebagai masyarakat kota yang berada di luar lingkungannya. Pelajaran baru lagi untuk saya dari perjalanan Merbabu.
# Trip with friends, Merbabu - Central Java, April 2007