Pages

Tuesday, November 28, 2006

Menjadi Ibu

Balikpapan, 27 November 2006


Dear Tyas,

Kirimannya udah May terima, makasih banyak yah Tyas. Tadi langsung dibuka di kantor, kue - kuenya enak. Seperti yang Tyas bilang di surat. Bawang goreng khas Palu-nya May bawa ke rumah. Buat masak - masak tentunya he he he..

Wah bener, ternyata udah lama banget kita ngga ketemu. Dah berapa tahun ya Tyas..2003 ke 2006 ..ternyata sudah 3 tahun. He he semenjak mantenan May ngga pernah ketemu lagi ma Tyas.

Kaffa dah 2 tahun yah. Ga kerasa, ponakan May dah mau gede. Masih ingat deh, waktu dulu Tyas memutuskan nikah ma Karel dan kemudian tinggal di Palu, sebuah kota dengan satu angkot saja untuk berkeliling kota he he. Seorang Tyas yang lulus cumlaude itu ternyata hanya punya satu cita - cita. Menjadi ibu rumah tangga :). Juga seorang Nina yang dulunya sering naik gunung sendirianpun ternyata mengemban profesi yang mulia itu.

Masih ingat juga kata - kata Tyas waktu dulu ketika ayah Tyas meminta Tyas untuk sekolah lagi, ngelanjutin S2 : " Aku mau nikah dulu Pak, baru abis itu sekolah lagi". Walau kemudian dirimu tidak pernah lagi menginjak bangku sekolah he he he. Tapi belajar memang bukan cuma di bangku sekolah ya Tyas. May yakin, sekarang di Palu lebih banyak pelajaran yang bisa Tyas pelajari. Bersama Kaffa, bersama Karel.

Semoga bisa cepat bertemu lagi ya. Seperti cita - cita kita bersama dulu, liburan keluarga ke Rinjani tea. Doakan May ya Tyas, mungkin karena Bapak itu juga, saat ini May sudah memilih untuk memiliki pekerjaan yang sama dengan Tyas. Mungkin saat ini belum sepenuhnya, tapi semoga bisa terwujud dengan segera. Masih ada beberapa hal yang harus dilakukan. Tapi sesudah itu ...pekerjaan kita sama Tyas :)

Salam buat Kaffa dan Karel ya, semoga cepat bertemu lagi :)

Friday, November 10, 2006

Kopi dan Cangkir

Hanya menuliskan kembali, email dari seorang teman


Sekelompok alumni sebuah universitas terkemuka mengadakan reuni di rumah salah seorang profesor favorit mereka yang dianggap paling bijak dan layak didengarkan. Satu jam pertama, seperti umumnya diskusi di acara reuni, diisi dengan menceritakan (baca: membanggakan) prestasi di tempat kerja masing-masing. Adu prestasi, adu posisi dan adu gengsi, tentunya pada akhirnya bermuara pada berapa $ yang mereka punya dan kelola, mewarnai acara kangen-kangenan ini.

Jam kedua mulai muncul guratan dahi yang menampilkan keadaan sebenarnya. Hampir semua yang hadir sedang stress karena sebenarnya pekerjaan, prestasi, kondisi ekonomi, keluarga dan situasi hati mereka tak secerah apa yang mereka miliki dan duduki. Bahwa dolar mengalir deras, adalah sebuah fakta yang terlihat dengan jelas dari mobil yang mereka kendarai serta merek baju dan jam tangan yg mereka pakai. Namun di lain pihak, mereka sebenarnya sedang dirundung masalah berat, yakni kehilangan makna hidup. Di satu sisi mereka sukses meraih kekayaan, di sisi lain mereka miskin dalam menikmati hidup dan kehidupan itu sendiri. They have money but not life.

Sang profesor mendengarkan celotehan mereka sambil menyiapkan seteko kopi hangat dan seperangkat cangkir. Ada yang terbuat dari kristal yang mahal, ada yang dari keramik asli Cina oleh-oleh salah seorang dari mereka, dan ada pula gelas dari plastik murahan untuk perlengkapan perkemahan sederhana. "Serve yourself," kata profesor, memecah kegerahan suasana. Semua mengambil cangkir dan kopi tanpa menyadari bahwa sang profesor sedang melakukan kajian akademik pengamatan perilaku, seperti layaknya seorang profesor yang senantiasa memiliki arti dan makna dalam setiap tindakannya.

"Jika engkau perhatikan, kalian semua mengambil cangkir yang paling mahal dan indah. Yang tertinggal hanya yang tampaknya kurang bagus dan murahan. Mengambil yang terbaik dan menyisakan yang kurang baik adalah sangat normal dan wajar. Namun, tahukah kalian bahwa inilah yang menyebabkan kalian stres dan tidak dapat menikmati hidup?" sang profesor memulai wejangannya. "Now consider this: life is the coffee, and the jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided," kali ini kalimatnya mulai menekan hati. "So, don't let the cups drive you, enjoy the coffee instead," demikian ia berkata sambil mempersilakan mereka menikmati kopi bersama.

Sewaktu membaca e-mail yang dikirim rekan saya Ucup, begitu panggilan akrabnya, saya ikut tertegun. Sesederhana itu rupanya. Profesor yang bijak selalu membuat yang sulit jadi mudah, sedangkan politikus selalu membuat yang mudah jadi sulit. Betapa banyak di antara kita yang salah menyiasati hidup ini dengan memutarbalikkan kopi dan cangkir. Tak jelas apa yang ingin kita nikmati, kopi yang enak atau cangkir yang cantik.

Ada tiga tipe pekerja (baca: profesional dan pengusaha) yang sering kita lihat dalam menyiasati kopi dan cangkir kehidupan ini. 

Pertama, pekerja yang sibuk mengejar pekerjaan, jabatan yang akhirnya hanya bertumpu pada kepemilikan jumlah dan kualitas cangkir kehidupan. Paradigmanya sangat sederhana, semakin banyak cangkir yang dipunyai, semakin bercahaya. Semakin bagus cangkir yang dimiliki akan mengubah rasa kopi menjadi enak. Fokus hidup hanya untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas cangkir. Ini yang menyebabkan terus terjadinya persaingan untuk menambah kepemilikan. Sukses diukur dengan seberapa banyak dan bagus apa yang dimiliki. Kala yang lain bisa membeli mobil mewah, ia pun terpacu mendapatkannya. Alhasil, tingkat stres menjadi sangat tinggi dan tak ada waktu untuk membenahi kopi. Semua upaya hanya untuk bagian luar, sedangkan bagian dalam semakin ketinggalan.

Kedua, pekerja yang menyadari bahwa kopinya ternyata pahit – artinya hidup yang terasa hambar; penuh kepahitan, dengki dan dendam; serta tak ada damai dan kebahagiaan -- mencoba menutupnya dengan menyajikannya dalam cangkir yang lebih mahal lagi. Pikirannya juga sangat mudah, kopi yang tidak enak akan terkurangi rasa tidak enaknya dengan cangkir yang mahal. Rasa kurang dicintai rekan kerja, dikompensasi dengan mengadopsi anak asuh dan angkat. Tak merasa diperhatikan, dibungkus dengan memberikan perhatian pada korban gempa di Yogyakarta. Tak menghiraukan lingkungan, ditutup halus dengan program environmental development yang harus diresmikan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Tak memperhatikan orang lain dengan tulus, dibalut dengan program community development yang wah. Kalau tidak hati-hati, akan muncul pengusaha kaum Farisi yang munafik bagai kubur bersih, tapi di dalamnya sebenarnya tulang tengkorak yang jelek dan bau.

Ketiga, ada pula pekerja yang berkonsentrasi membenahi kopinya agar lebih enak, semakin enak dan menjadi sangat enak. Tipe ini tak terlalu pusing dengan penampilan cangkir. Pakaian yang mahal dan eksklusif tak mampu membuat borok jadi sembuh. Makanan yang mahal tak selalu membuat tubuh jadi sehat, malahan yang terjadi acap sebaliknya. Fokus pada kehidupan dan hidup menyebabkan ia dapat santai menghadapi hari-hari yang keras. Ia tak mau berkompromi dengan pekerjaan yang merusak martabat, sikap dan kebiasaan. Menyuap yang terus-menerus dilakukan hanya akan membuat dirinya tak mudah bersalah kala disuap. Fokus pada kopi yang enak, membuat ia tak mudah menyerah pada tuntutan pekerjaan, tekanan target penjualan yang mengontaminasi karakternya. Baginya, ini adalah kebodohan yang tak pernah dapat dipulihkan. Profesor yang lain pernah berpetuah, "Take no thought for your life, what you shall eat or drink, nor your body what you shall put on. Is not the life more than meat and the body than raiment?" Kalau kita tidak sadar, kita bakal terjerembab: mengkhawatirkan cangkir padahal seharusnya kita fokus pada kopi.

Enjoy your coffee, my friend!

Tuesday, November 7, 2006

Warung Bandung Ngumbara - Episode Nasi Kuning

Semuanya bermula dari celoteh iseng ketika makan siang hari Sabtu di pinggir pantai Melawai. Saat itu kami sedang makan siang bersama, nasi kuning buatan sendiri  : " Nasi kuningnya enak banget, gimana kalau kita jualan aja ? ". Dan tak dikira dan diduga, semua menjawab : ayuk. Apalagi setelah Akang James sang pemilik strada merah menyanggupi mobilnya digunakan untuk berjualan.

Akhirnya, minggu pagi, 5 November 2006, jualan pertama kami berhasil di-launch, jualan nasi kuning dengan pelengkapnya seperti dadar telur rawis, sambal tomat, tempe kering, serundeng, timun, serawung, ayam goreng, telur bumbu merah dan taburan bawang goreng.

Akang James dan Jeng Feri siap-siap buka lapak
Belanja di Pasar Butun jam 6 sore hari sabtu, masak dari jam 9 malam - jam 1 malam, malam minggu. Dan stand by on location di hari minggu pagi yang ceria di lapangan Merdeka Balikpapan. Alhamdulillah laris manis dan untungnya alhamdulillah. Kalau istilah James : Raos ku rasana, bungah ku ayana.

Daftar Menu Warung Ngumbara
Jadi jangan lupa untuk hadir kembali di warung ngumbara episode berikutnya :-)

Pelanggan setia :)

Thursday, November 2, 2006

Denias - Senandung di Atas Awan




"Sekolahlah Denias, kalau kamu pintar gunungpun takut sama kamu" , begitulah pesan sang Ibu yang diingat oleh Denias (Albert Fakdawer), seorang anak suku biasa di pedalaman Papua. Pesan yang memicu semangatnya untuk menempuh perjalanan jauh, berjalan sendirian di tengah hutan, pergi ke kota, untuk bersekolah.

Dibuka dengan suasana belajar di sebuah sekolah darurat di puncak bukit. Sebuah honai sederhana, beratap rumbia, dengan bangku kayu seadanya. Denias dan teman - teman belajar bersama Pak Guru (Mathias Muchus).

Helikopter yang membawa Maleo, anak - anak berlarian menyambut kedatangan Maleo, mengharukan. Adegan lainnya berjalan cepat, pertengkaran Denias dengan anak kepala suku, Ibu Denias yang sakit, pesan terakhir dari sang Ibu, berburu kaskus, honai yang terbakar, Ibu meninggal dunia, Pak Guru pulang ke Jawa, Denias mengalami kesedihan beruntun, kehilangan orang yang ia cintai dan hormati.

Di sini sosok Maleo (Ari Sihasale) berperan, ia menggantikan sosok Pak Guru, mengajar anak - anak. Bahkan ketika sekolah mereka hancur karena gempa, Maleo memindahkan sekolah kemana saja, ke pondok kecilnya, sampai membuat honai baru di pinggir danau. "Bersekolah bisa dimana saja"..kata Maleo.

Tapi ternyata cobaan untuk Denias belum berakhir, Maleo yang ternyata seorang Kopasus harus kembali ke kota untuk bertugas. Mengharukan sekali adegan Denias membaca surat dari Maleo, Denias memutuskan pergi ke kota, berjalan sendirian di tengah hutan, menyusuri sungai, berburu untuk bertahan hidup, hingga perkenalannya dengan Enos yang bandel.

Inti film ini adalah kegigihan dan tekad yang kuat. Keinginan yang sangat besar untuk bersekolah membawa Denias dan Enos ke sebuah sekolah fasilitas yang tidak sembarang orang bisa bersekolah di sana. Selanjutnya Denias berkenalan dengan Ibu Sam (Marcella Zalianty) seorang pengajar yang akhirnya membantu Denias untuk bersekolah disana.

Kocak sekaligus mengharukan. Melihat Maleo dan Denias belajar tentang geografi Indonesia dengan sebuah peta yang terbuat dari potongan dus yang dibentuk menyerupai pulau, ditempel di sebuah karung plastik. Peta ini akhirnya menjadi salah satu harta berharga Denias dan dibawanya ke kota. Juga ketika anak - anak menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dilafalkan sebagai ENDONESA, berebut seragam sekolah dasar, Enos berlarian pulang ke desanya untuk mengambil raport agar ia bisa bersekolah lagi, dan masih banyak kejadian lainnya yang mengharukan.

Sungguh sebuah film yang sangat baik dan membawa pencerahan, menggugah semangat untuk terus belajar. Cerita yang sangat menarik, didukung oleh alam Papua yang memang menakjubkan, pemain yang baik dan sinematografi yang yahud.

Produser : Alenia
Release   : 19 Oktober 2006
Category : Movies
Genre     : Documentary


Film ini merupakan kisah nyata Janias. Saat ini Janias bersekolah di SMU di Darwin dengan beasiswa dari PT Freeport Indonesia, sedangkan Enos sedang menyelesaikan skripsinya di sebuah universitas di Malang.

Wednesday, November 1, 2006

Laskar Pelangi


Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. 

Tengoklah Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu—bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan Padamu Negeri di akhir jam sekolah. 

Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Dan juga sembilan orang Laskar Pelangi lain yang begitu bersemangat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita. 

Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan mereka, dan temukan diri Anda tertawa, menangis, dan tersentuh saat membaca setiap lembarnya. 

Buku ini dipersembahkan buat mereka yang meyakini the magic of childhood memories, dan khususnya juga buat siapa saja yang masih meyakini adanya pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia: pendidikan.

Saya baru saja selesai membaca buku ini minggu lalu, termasuk cepat, dua hari sudah selesai. Sebagian dibaca di pesawat dalam perjalanan mudik ke Bandung dan karena penasaran saya selesaikan esok harinya di rumah. 

Buku yang sangat menarik. Mengisahkan kehidupan 11 anak - anak kurang mampu yang bersekolah di sekolah sangat sederhana, SD dan SMP Muhammadiyah di Pulau Belitong alias Belitung. 

Mengingatkan saya tentang indahnya masa kanak - kanak, ketika hati nurani masih belum ternodai he he he. Mengingatkan saya tentang sebuah pepatah : tuntutlah ilmu ke negeri Cina dan yang pasti mengingatkan saya untuk bersyukur bahwa saya memiliki kesempatan untuk duduk di bangku sekolah.

Buku ini merupakan memoar masa kecil penulisnya (Andrea Hirata - www.sastrabelitong.multiply.com). Layak sekali untuk dibaca, kocak, haru dan mencerahkan.

Category: Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author: Andrea Hirata

Dibeli  di www.inibuku.com, harga Rp. 50,150,-