Beberapa hari lagi sudah tahun 2016 ya, untuk saya terasa sangat cepat, lagi - lagi tidak terasa. Dan saya mulai sering merasa ada yang salah, kenapa sih semua harus terasa cepat. Berhenti sebentar May. Baiklah mari kita berhenti sebentar disini.
Beberapa bulan belakangan ini saya sedang berfikir tentang kematian. Ups mungkin bukan topik favorit untuk kebanyakan orang. Sayapun dulu begitu. Rasanya kematian begitu jauh, ah saya kan masih muda, selalu begitu alasannya. Padahal agama saya mengajarkan umatnya untuk selalu mengingat mati, bahwa sesungguhnya hidup di dunia ini tidak abadi, hanya persinggahan, sementara saja. Kalau orang Jawa bilang : Wong urip iku mung mampir ngombe. Sebentar saja, seperti kita duduk di cafe, maximum seharian saja kan. Itulah analogi hidup di dunia.
Tetapi tetap saja sepertinya saya bandel, kematian masih tetap terasa jauh. Saya lebih takut orang - orang di terdekat saya akan meninggalkan saya terlebih dahulu. Takut saya menjadi sendiri, takut saya tidak bisa bertemu mereka lagi. Padahal saya tahu : surely we belong to Allah and to Him shall we return. Tidak ada yang abadi di dunia ini.
Berpulangnya ibu saya di awal tahun ini menampar muka saya. Sesuatu yang saya takutkan sejak lama menjadi kenyataan. Ibu saya meninggal dunia di rumah sakit setelah sakit cukup lama, serangan stroke pertama di tahun 2009, disambung dengan serangan kedua di tahun 2011, lebih dari cukup untuk membuat beliau hanya bisa berbaring, susah berbicara, tidak berdaya selama kurang lebih 3.5 tahun. Berbagai upaya pengobatan telah dilakukan tetapi tiada hasil. Mendengar beritanya saya menangis, dan kemudian bersyukur, sepertinya Allah telah mengabulkan doa saya ketika saya berumrah di bulan Desember 2014, permohonan doa untuk memberi jalan yang terbaik untuk ibu saya. Allah telah mengangkat semua rasa sakitnya, sekarang In Sha Allah Mami tidak pernah merasa sakit lagi.
Saya sempat menengok Mami 1 minggu sebelum beliau meninggal, mengantarkan air zam-zam dan sedikit oleh-oleh dari Tanah Haram. Alhamdulillah, bersyukur saya bisa menemuinya dalam keadaan hidup, walaupun akhirnya saya tidak bisa melihat jasadnya untuk terakhir kali. In Sha Allah Mami sudah bahagia sekarang.
Berpulangnya Mami adalah kehilangan saya untuk pertama kalinya. Sakit tetapi saya ikhlas karena mungkin itu yang terbaik bagi Mami. Rasanya egois berdoa agar Mami tetap hidup tetapi menderita. Allah pasti tahu yang terbaik.
Pertengahan tahun saya mendengar kabar duka lainnya. Kali ini dari seseorang yang tidak saya kenal, istri salah seorang pegawai PHE di Kuala Lumpur meninggal dunia dalam tidurnya, tidak sakit sama sekali, di bulan puasa dan beliau sedang mengandung anak kedua-nya dengan usia kandungan ~ 5 bulan. Masih muda usianya, dibawah 30 tahun, anak pertamanya pun masih kecil. Lagi - lagi berita ini menampar saya. Saya membayangkan kehilangan yang dialami suami, anak dan keluarganya. Kepergian yang tidak diduga-duga, tidak pernah terfikirkan.
Akhir tahun ada kabar duka lainnya. Lift jatuh di gedung kantor saya yang lama. 3 orang meninggal dunia, salah satunya seorang suami yang istrinya sedang hamil anak kedua. Betapa kematian itu rahasia Allah, pernahkah berfikir kita melepas keluarga kita di pagi hari untuk kemudian tidak pernah bertemu dengan mereka lagi. Pernahkah kita berfikir kita memasuki lift untuk kemudian tidak pernah keluar lagi dalam keadaan hidup ? Sungguh kematian itu sesungguhnya sangat dekat.
Dan puncaknya beberapa hari yang lalu, suami saya memberitahu bahwa ada istri temannya yang meninggal. Saya kebetulan tidak mengenalnya, tetapi berita ini cukup membuat saya berhenti sejenak. Alm meninggal sesaat setelah operasi Caesar ketika melahirkan anak kedua-nya. Lagi - lagi kematian yang tidak disangka-sangka. Bayi mereka selamat dan sehat, tetapi sang ibu harus pergi selamanya. Penuh rasa ingin tahu saya membaca blog Alm. Tya, walaupun tidak mengenalnya secara personal tapi saya bisa merasakan bahwa beliau orang baik, dekat dengan Tuhan. Satu hal lain yang menyedihkan adalah keadaan anak pertama Tya. Anak pertamanya lahir prematur, setelah lahir ia harus masuk NICU selama 90 hari. Anak pertama-nya yang lain (anaknya kembar) meninggal beberapa jam setelah dilahirkan. Belum cukup rencana Allah, ternyata anak yang hidup tidak sempurna, ia tidak bisa mendengar dan melihat, efek dari obat - obatan yang diberikan terus - menerus selama dirawat di NICU. Saya tidak bisa membayangkan kehilangan yang dirasakan sang Suami, semoga Allah selalu memberinya kekuatan, kemudahan dan kesabaran.
Jadi sesungguhnya kematian itu memang begitu dekat, dan siapkah kita untuk mati ? Sejujurnya saya menjawab tidak. Pindahan rumah selalu membuat kita sibuk, packing barang, mencari mover, semua disiapkan dengan baik. Kalau perlu dicari hotel sementara untuk tinggal selama proses pindahan. Tetapi apakah yang kita persiapkan untuk pindah ke rumah abadi kita ? ada, tetapi mungkin sedikit saja. Kita terlalu sibuk memikirkan mau mampir ngopi dimana lagi. Saya merasa malu.
Siapkah apabila orang terdekat kita meninggalkan kita ? Sejujurnya lagi saya menjawab tidak. Dan saya sadari bahwa manusia memang egois, terkadang dalam doa kita panjatkan agar orang yang sakit parah cepat sembuh, egois karena kesembuhan mungkin bukan yang terbaik untuk mereka. Ingat film Sister Keeper ?
Agama saya mengajarkan untuk selalu mengingat kematian, seolah - olah kita akan mati besok. Di sisi lain berjuang jugalah untuk dunia, seolah olah kita akan hidup selamanya. Nice.
Semangat selalu May, berjuang untuk saat ini dan nanti.