Semalam saya dan pacar alias partner mendiskusikan rencana perjalanan kami akhir bulan ini. InsyaAllah kami akan menuju suatu tempat yang ada gambarnya di uang kertas 1000 rupiah. Hayo kemanakah itu, silahkan cek uang 1000an di dompet/saku baju masing-masing =)
Perbincangan menjadi makin menarik ketika saya menyampaikan bahwa teman saya Mario sudah mengontak temannya di sana yang bisa menjadi guide kami naik gunung. Hue he he padahal dari dulu kala saya sudah mengerti bahwa partner selalu menolak mentah - mentah ide untuk naik gunung dengan bantuan jasa guide dan porter. Tentu saja naik gunung di sini adalah dalam konteks trekking di gunung dan hutan tropis Indonesia yang umumnya sudah memiliki jalur pendakian yang baik, waktu pendakian relatif singkat dan tingkat kesulitannya relatif mudah dibandingkan pendakian gunung es yang membutuhkan dukungan akomodasi yang tidak sedikit dan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Setahu saya, partner memang paling anti naik gunung dengan bantuan porter, apalagi porter untuk barang pribadi. Atau naik gunung ditemani guide hanya dengan alasan biar "mudah". Partner lebih rela melakukan latihan fisik secara rutin demi menjaga kebugaran tubuh dan akhirnya bisa naik gunung sendiri tanpa bantuan porter. Juga lebih rela mencari data, tanya kanan kiri, searching di internet, beli peta dan siap dengan perkiraan jalur yang mantap dibanding naik gunung hanya mengikuti guide.
Bagi sebagian orang mungkin terkesan sangat idealis, tapi itu pilihan, boleh aja kan =)
Bagaimana dengan saya ? Saya langsung teringat kembali peristiwa 6 bulan yang lalu ketika saya bertemu adik kelas saya di unit leleuweungan kampus dulu. Lama juga tidak bertemu dengannya. Sayangnya pertemuan kami yang tak terduga ini dinodai oleh kalimat pertamanya berikut ini : "Mba May sekarang jadi manja ya, naik gunung udah pake porter, nyampe camp tenda udah siap, makanan dimasakin..ck ck ga nyangka deh Mba"
He he sialan, kok ni anak bisa tau juga, walaupun saya tahu ia cuma bermaksud menggoda. Dan sang adik bercerita kalau berita saya naik gunung pake porter ini sempat menjadi topik hangat selama beberapa hari di sel sana. Memalukan =).
Memang betul sih...dua bulan sebelumnya saya dan 15 orang teman sekantor baru pulang dari sebuah pendakian gunung. Saat itu kami memang menggunakan jasa porter untuk membawa barang kelompok seperti tenda, bahan makanan, dsb. Selain itu porter-porter yang baik hati itu memang membuatkan tenda, memasakkan makanan (tapi saya ikut ke dapur juga lho) bahkan hingga mencari kayu dan membuat api unggun. Konsep pendakian yang bagi saya pribadi kurang sesuai dan saya tidak sepaham dengan itu sejak awal. Tapi demi kepentingan bersama dan mensukseskan moto hidup : memasyarakatkan naik gunung dan menaikgunungkan masyarakat akhirnya kami tetap naik gunung dengan bantuan porter. Tapi akhirnya ya begitulah he he..Mba May yang menjadi manja...walau pada kenyataannya saya bawa semua barang pribadi saya sendiri lho..ga dititip ke porter...tapi tenda tetep dipasangin.
Padahal sewaktu di kampus dulu saya dikenal sebagai orang yang paling anti nitip-nitip barang apalagi pakai porter, bahkan Neneng - sahabat baik saya yang selalu kena omelan saya..karena kalau naik gunung ia sering nitip minta dibawain barang he hehe ..padahal saya tahu Neneng sanggup untuk bawa sendiri, dan setelah dicoba ternyata bisa kan Neng.
Selain dana untuk sewa porter ngga ada (dah bisa jalan - jalan dan ke gunung aja alhamdulillah) ini juga sudah menjadi semacam prinsip : barang pribadi sebisa mungkin HARUS dibawa sendiri, jangan dititipin apalagi dibawain porter. Alasannya sederhana, bila suatu saat kita terpisah dari tim kita harus tetap bisa survive. Salah satu alat bantu agar kita bisa tetap survive adalah perlengkapan - perlengkapan tersebut, yang sebisa mungkin kita bawa sendiri.
Bagaimana dengan pertanyaan :"Gimana kalau kondisi fisik tidak memungkinkan?" Hue he he ini lain lagi. Ketika kita memutuskan akan mendaki gunung/trekking dan sebangsanya maka kita memiliki tanggung jawab pribadi untuk menyiapkan kondisi fisik kita. Sebisa mungkin mengkondisikan latihan dengan kondisi medan yang sebenarnya. Yang penting kita sudah berusaha, terlepas nanti ketika pendakian yang sebenarnya ternyata kita membutuhkan bantuan dari teman perjalanan kita.
Dan barusan, setelah saya ingat - ingat lagi..pendakian terakhir saya yang menggunakan porter memang kehilangan gregetnya, kurang berkesan. Menjadi terlalu mudah dan banyak moment - moment menyenangkan yang hilang.
Coba deh ingat - ingat, gimana serunya memberi semangat pada teman yang kelelahan membawa ranselnya, ngejahilin teman dengan memasukkan semangka utuh ke dalam ransel yang sudah dipacking rapih tanpa sepengetahuan pemilik ransel (Hai Bayu he he), pasang tenda di bawah hujan deras kemudian duduk manis sambil menghangatkan tubuh dengan segelas teh manis di dalam tenda yang dibuat sendiri, sambil memasak, bercerita - cerita, atau seorang sahabat baik saya yang hobbynya bikin perapian kemudian selalu tertidur di sampingnya, thanks God tenda jadi kosong he he..such a beautiful moment.
Iyah..pada intinya bagi saya naik gunung yang terakhir itu hilang gregetnya...dan salah satu penyebabnya karena kami menggunakan porter.
Ini pemikiran pribadi aja lho, tidak bermaksud mempengaruhi atau maksa kalian semua naik gunung tanpa porter dan guide. Hasil diskusi ma partner tentang hal ini. Untungnya kami berdua punya pendapat yang sama. Buat kami berdua, akan menjadi lebih seru, lebih menarik, dan lebih berkesan naik gunung tanpa porter dan guide. Kecuali memang kondisi medan membutuhkan jasa mereka. Misalnya apabila kami berdua punya rejeki dan bisa ke Kinabalu, tentu kami akan menggunakan jasa porter dan guide, karena peraturan mengharuskan itu. Atau kalau ada rejeki lagi bisa ke Himalaya misalnya, maka kami pasti punya foto bersama sherpa -sherpa itu. Fleksibel.
Kami berdua tidak mau kehilangan moment indah yang membuat kami selalu ingin kembali ke gunung dan kami berdua ga mau marah-marah sama porter gara - gara mereka membuat kesalahan atau lalai membawakan barang yang kami titipkan. Atau jadi kecewa sama guide kami karena kami nyasar atau tujuan tidak tercapai. Bagi kami lebih indah kecapean menggotong ransel dan nyasar dengan jalan yang kami pilih sendiri. Ini opini pribadi ya, ga diikutin juga ga papa, protes juga monggo. Ayo kembali ke gunung =)
Catatan dari Paman Wikipedia :
The word "guide" was incorporated into (Middle) English via Old French "guider" which meant "to guide, lead, conduct".
Mountain guides are those employed in mountaineering, these are not merely to show the way but stand in the position of professional climbers with an expert knowledge of rock and snowcraft.
Porter is a person who carries luggage and related objects.
The Sherpa are an ethnic group from the most mountainous region of Nepal, high in the Himalaya. In Tibetan shar means East; pa is a suffix meaning 'people': hence the word sharpa or Sherpa. Sherpas migrated from eastern Tibet to Nepal within the last 500 years.
The term 'sherpa' (the preferred spelling with a lower case first letter) is also incorrectly used to refer to local people, typically men, employed as porters or guides for mountaineering expeditions in the Himalayas. They are highly regarded as experts in mountaineering and their local terrain, as well as having good physical endurance and resilience to high altitude conditions. However, a sherpa is not necessarily a member of the Sherpa ethnic group. A female sherpa is known as a "Sherpani".