Setiap hari kerja saya meninggalkan rumah pukul 5.45 pagi, masih sangat pagi memang. Sarapan ? tentu belum. Pagi saya di rumah disibukkan oleh aktifitas menyiapkan hidangan untuk Cici-putri saya, mandi pagi dan berangkat ke kantor.
Pukul 7 pagi saya sudah duduk manis di kantor dan dimulailah ritual itu. Membuka laci kabinet, mengeluarkan laptop, menghidupkannya, memasukkan user name, password dan berjalan menuju pantry sambil membawa 1 bungkus kopi kemasan - kopi hitam merk klasik hanya kopi dan gula. Menuang bubuk kopi ke mug kesayangan, menuangkan air panas, mengaduk 30 kali berlawanan arah dengan jarum jam, menghirup aromanya, kembali ke cubical dan duduk manis membaca email sambil menyesap cairan hitam itu. Nikmat memang. Inilah ritual pagi saya. Secangkir kopi hitam.
http://leadershipfreak.wordpress.com/2010/04/16/influence-over-a-cup-of-coffee/ |
Sejujurnya ritual ini baru saya mulai setahun belakangan. Beban pekerjaan memang sedang tinggi, memonitoring pengeboran sumur selama 24 jam, urusan rumah tangga, urusan side job dan kesibukan -kesibukan lainnya membuat saya menjadi sangat mudah lelah dan mengantuk. Di sisi lain saya selalu dituntut untuk tampil prima dan berkonsentrasi tinggi. Inilah saat yang tepat untuk memasukkan sedikit kafein ke dalam tubuh.
Perkenalan saya dengan kopi dimulai ketika saya duduk di bangku kuliah. Benar - benar perkenalan pertama. Ayah dan kakak laki - laki saya bukan perokok dan peminum kopi. Seingat saya di rumah dulu tidak pernah tersedia persediaan kopi, hanya teh dan susu saja. Sesekali ibu saya membeli kopi untuk menjamu para tukang yang merenovasi rumah atau tamu, sepertinya hanya itu saja.
Ketika kuliah saya masuk jurusan Teknik Geologi dan menjadi anggota unit pencinta alam di kampus saya. Dunia lelaki, dunia kopi dan rokok. Rapat himpunan, rapat unit, jeda menunggu waktu kuliah, mendaki gunung, berkemah, semua bersahabat dengan kopi. Perlahan saya berkenalan, suka walaupun tidak menjadi akrab.
Ketika mulai bekerja saya mulai akrab dengan kopi walaupun lagi - lagi tidak menjadi menjadi dekat. Office boy kantor hanya mengantar segelas air putih saja setiap hari, cukup bagi saya. Malam - malam panjang di anjungan pengeboran lepas pantai lagi - lagi hanya saya isi dengan air putih, cukup di kala itu.
Pernikahan tidak mendekatkan saya dengan kopi. Suami saya perokok dan peminum kopi tetapi tidak meminum kopi setiap hari. Tugas harian saya hanya membuat segelas teh manis hangat, cukup saja. Persediaan kopi tersedia di rumah untuk menjamu tamu, atau oleh - oleh dari sahabat yang bepergian. Kopi Aceh, Gayo, Toraja, Papuan Wamena, hampir semuanya ada. Tetapi lagi - lagi saya belum bersahabat dengannya.
Bos saya di kantor seorang pecandu kopi, Scotish-man yang meminum kopi pahit tanpa gula 3x sehari. Setiap hari dia membeli kopi di kedai kopi di dekat kantor dan meminumnya di cubical. Aromanya sedap sekali, harumnya menggoda. Setiap saat dia selalu memuji - muji kenikmatan kopi Indonesia dan mentertawai saya yang malah tidak suka minum kopi. "Indonesia has the best coffee in the world", antusias diucapkannya kepada setiap orang.
Tetapi selalu ada saat untuk jatuh cinta. Januari 2012 lalu saya dan keluarga mengunjungi Belitung, pulau kecil yang tersohor dengan Laskar Pelangi, keindahan pantai dan juga kedai KOPI BELITONG. Orang bilang tidak lengkap rasanya ke Belitung kalau tidak mampir di kedai kopi.
Hari pertama saya di Belitung dan saya jatuh cinta. Segelas kopi susu di kedai belokan jalan itu sangat nikmat. Harum, manisnya pas tanpa ampas karena disaring terlebih dahulu. Ah, akhirnya saya jatuh cinta.
Hari kedua di Belitung dan kami berkunjung ke kedai kopi lain di Pasar Tanjung Pandan. Pagi sekali kami berjalan kaki dari hotel menuju pasar yang ramai. Kedai kopi yang kami tuju sudah ramai. Bapak - bapak duduk sambil mengobrol, ada juga yang bermain ukulele, hidup. Grup kami ikut duduk dan disambut dengan ramah. Mereka bertanya asal kami, tinggal di hotel mana, sangat tulus. Pesanan kami datang, kopi yang sama nikmatnya, kopi susu ternikmat yang pernah saya minum. Kopi Belitong.
kopi susu di kedai kopi Pasar Tanjung Pandan, Belitung |
Suasana pagi di kedai ini memang semarak. Obrolan - obrolan ringan sampai serius bermunculan. Selalu ada seorang tokoh yang dituakan dan doyan berbicara. Sementara pengunjung lainnya tekun mendengarkan, tertawa - tawa, menginspirasi. Ternyata tidak perlu duduk di kedai kopi waralaba yang tersohor itu, di kedai kopi 3000 rupiah ini saya menemukan kehangatan yang tulus.
kedai kopi di Pasar Tanjung Pandan, Belitong |
Itulah kisah persahabatanku dengan kopi. Sejak saat itu saya menyukainya, candu. Kopi paling nikmat tentunya adalah kopi tubruk diseduh dengan air panas mendidih. Pilihan tepat untuk di rumah. Untuk di kantor ? kopi kemasan pilihannya. Cukuplah panas air dispenser untuk menyeduhnya. Resep diaduk 30 putaran berlawanan arah dengan jarum jam itu saya peroleh dari Bapaknya Ikal, tokoh dalam buku Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Awalnya saya menganggapnya biasa saja, saya masih mengaduk kopi sekenanya. Tetapi saya perhatikan air dispenser memang tidak cukup panas untuk membuat larutan kopi yang homogen, tercampur sempurna. Mendadak saya ingat resep Bapaknya Ikal dan ternyata berhasil, mengaduk berlawanan arah dengan jarum jam membantu kopi untuk tercampur lebih sempurna.
Senang akhirnya saya menyukai kopi. Aromanya saja sudah cukup membangkitkan semangat dan konsentrasi. Diseduh pagi hari cocok, sore hari apalagi. Ketika mata mulai mengantuk maka harum kopi dari tetangga sebelah sudah cukup membuka mata dan lebih segar. Teman begadang juga oke, inspirasi datang lebih mudah, pikiran lebih jernih.
Untuk rekan - rekan muslim, tahukah kalian bahwa kopi sebenarnya minuman kegemaran kaum Sufi? Dengan meminum kopi, orang-orang kelas ma’rifat (yang tidak memiliki dan terjangkit penyakit yang semakin parah karena minum kopi) semakin tegar beribadah, seolah kopi mendatangkan cahaya bagi rohani dan jasmani mereka. Jadi tidak salah memang kalau secangkir kopi membantu kita menjadi lebih baik.